Kamis, 17 November 2011

Pak SBY, Saya Miskin dan Ingin Terus Sekolah

6 Bulan menjabat kedudukan sebagain Ko Assisten setelah mendapat gelar S.Ked membuat saya berulang kali mengucap syukur. Begitu cepat waktu bergerak, jauh lebih cepat melebihi apa yang saya bayangkan.Namun hal tersebut tak lantas membuat saya bergembira karena semakin cepat dia bergerak maka makin cepat pula tuntutan untuk membayar administrasi dan biaya sekolah lainnya. Nah kalimat yang terakhir tersebut adalah duka nestapa.

Begitu 6 bulan berjalan maka untuk bulan berikutnya dan sebagai persyaratan pengambilan log book stase baru, maka saya dikenakan kewajiban biaya sebesar 6,1 juta. sangat bisa untuk dicicil dua kali, yaitu 3 jutaan. benar sekali harga itu sangat tidak fantastis. Mungkin buat Anda iya.. tapi buat saya itu harga yang terlalu tinggi dari jangkauan saya, dan harga mati yang tidak bisa ditawar. padahal dalam keadaan demikian semua sumber pemasukan saya sudah berhenti dan macet total sedangkan pengeluaran rasa-rasanya tidak mau memberi space untuk sedikit iba dan pengertian.Apalagi waktu ibu bilang, uang ibu buat bayar sekolah adekmu dulu. ibu sudah tidak ada uang lagi. serasa tamaaaatttt tamatttttt end semuanya.

Lari ke ATM pun rasanya percuma, karena terakhir saya baca, saldo yang tersisa hanya berkisar diangka puluh ribuan saja. Dan dalam hidup, ini adalah pertama kalinya saya sangat merasa tertekan. merasa dipermaikan oleh harta duniawi yang buat saya sangat tidak penting, tapi penting sekali maknanya buat yang punya yayasan. rasanya marah, rasanya kecewa, benci dan tumpah semuanya, saya menangis sejadi-jadinya. SAYA HANYA INGIN SEKOLAH, LIHAT SEMANGAT SAYA DAN PANTASKAH BARANG SEMACAM INI MENJADI PENGGANJAL UNTUK SAYA MENCAPAI CITA-CITA. Kemudian semua perasaan berlalu dan saya sangat mati rasa.

Dengar Allah, saya masih menggenggam mimpi itu. mimpi yang tidak mungkin akan saya lepaskan sebelum saya enggan melepasnya. seberapapun cobaannya bagi saya mimpi itu adalah 99% emosi yang membuat saya tegak. dan saya masih berhak menggenggamnya selama saya enggan melepasnya. sebegitu tinggi harapan saya tentang sekolah. kesempatan yang sangat langka bagi orang semacam saya duduk sebagai mahasiswi kedokteran yang jelas dihuni oleh alien alien elit. Cita-cita yang ironis tentunya, saya akui saya terlalu berdagang dan spekulatif, tidak mengukur tingginya harapan itu dibanding dengan rendahnya fasilitas yang saya punya.

Coba bayangkan, orang dengan level kolong jembatan macam saya ini, bagaimana bisa merubah hidupnya lebih layak jika bukan dengan ilmu dan skill yang diperolehnya di lembaga edukasi, sedangkan untuk meraih kesana butuh sekali banyak biaya. saya sekolah untuk merubah hidup - ketika ada semangatnya - tidak ada modalnya - tidak bisa sekolah - dan hidup kami sangat kecil punya peluang untuk berubah. mau mundur salah, mau maju lebih terpuruk.

tapi bergulirnya keadaan ini bagi saya, hanya sebuah indikasi bahwa mungkin 60% perjalanan saya sudah terlampaui. semakin tinggi persenan yang akan saya raih tentu akan lebih terjal perjalanannya. tapi entah, saya merasa saya bisa. dan saya akan terus mewujudkannya meskipun dengan merangkak. jika ditanya seberapa besar mimipimu? maka jawabannya, mimpi saya sangat kecil, saya hanya ingin tamat sekolah. meskipun mimpi itu sangat menggantung dan untuk diwujudkan sebagi realita teramat menyakitkan. kadang sangat membara ambisi untuk mengejarnya tapi menunduk lagi menyadari keterbatasannya. dan kesimpulannya, selama Tuhan memberimu 1 pintu dan kesempatan bagimu untuk bermimpi, bermimpilah tentang 1 hal saja, kemudian lakukan 1000 langkah untuk mewujudkannya.

dan dimasa yang akan datang, ketika orang lain menjadi sukses dengan sedikit mengeluarkan keringat, sedang saya, butuh cucuran keringat, ratapan doa setiap malamnya dan perut kelaparan untuk menjadi dia, kebahagiaan dan kebanggaan yang saya punya jauh lebih tinggi derajatnya, karena proses yang saya lalui jauh lebih penuh drama. saya mampu membuktikan, saya kokoh bukan karena mendompleng orangtua, bukan karena harta dunia yang saya punya tapi saya menjadi apa yang saya harapkan melalui permainan Tuhan, bahwa hidup sangat tidak matematik dan kemandirian yang lahir dengan terpaksa. dan diakhir kseimpulan, biarkan kesederhanaan ini membuat saya dihargai kelak..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar